Sunday, 10 April 2016 | By: Unknown

GERIMIS




            Petang kini semakin merajut membingkai langit membentuk suatu pemandangan indah dengan taburan ribuan bintang dan terangnya sinar rembulan. Seorang gadis dengan rambut hitam lurus sebahu tengah duduk di bangku di balkon kamar tidurnya. Wajahnya yang tirus dengan kelopak mata yang indah, bibir mungil dan hidung mancung kini menengadah keatas menatap langit. Dengan balutan bluse lengan panjang, warna biru muda dan rok pendek berpilin 5 cm dibawah lutut memperlihatkan kakinya yang jenjang dan halus. Walaupun ia mengenakan pakaian sependek itu ia tak menghiraukan hawa dingin yang menerpa tubuhnya karena ia sudah terhipnotis dengan keindahan pemandangan langit malam yang sangat ia kagumi.
            “Dara, kamu sudah tidur sayang?” panggil sang mama dari balik pintu kamarnya.
            Dara kaget dengan panggilan mamanya, secepat kilat ia berlari kearah ranjang tempat tidurnya dan segera menghempaskan tubuhnya dan menarik selimutnya hingga leher, kemudian ia memejamkan matanya. Di balik pintu mamanya tak mendengar sahutan dari Dara dan mengira ia sudah tidur. Namun sang mama tetap masuk ke dalam ingin memastikan bahwa anaknya sudah tertidur. Perlahan pintu kamara Dara terbuka,
            “Syukurlah dia sudah tidur. Tapi kok terasa dingin ya?” kata mamanya ketika melihat Dara tengah terlelap di tempat tidurnya. Mama Dara menoleh ke arah pintu balkon yang ternyata terbuka, sehingga membuat udara di kamar Dara menjadi dingin. Kemudian beliau berjalan kearah pintu tersebut dan menutupnya. Setelah itu mama Dara menghampiri putri semata wayangnya yang telah tertidur.
            “Anak ini, selalu saja lupa menutup pintu balkon. Nanti kalau dia masuk angin, lalu sakit bagaimana? Mama nggak mau kamu mengapa-mengapa sayang karena mama sangat sayang padamu.” mamanya bergumam sendiri sambil membelai rambut Dara lembut.
            Beberapa menit kemudian mama Dara mengecup kening putrinya dan melangkah keluar dari kamar Dara dan membiarkan Dara terlelap dalam tidurnya. Tak berapa lama semenjak mamanya keluar dari kamarnya, Dara membuka matanya dan tertawa kecil, karena ia senang melihat mamanya tertipu dan mengira ia sudah tidur. Ia pun bangun dari tempat tidurnya, tetapi ia tidak melanjutkan melihat langit melainkan ia duduk di kasurnya dan meraih sebuah buku di atas nakas tempat tidurnya. Ia membuka buku tersebut dan mulai menulis apa yang ia lewati seharian tadi, karena ia memang suka menuliskan apa saja yang ia lakukan seharian di buku diary kesayangannya.
Ketika ia tengah menulis, tiba-tiba ada yang menetes di atas kertas diarynya. Tetesan itu berbentuk cairan yang berwarna merah segar dan berbau anyir seperti bau darah. Kemudian ia meraba lubang hidungnya, karena ia merasakan ada yang mengalir di hidungnya. Dan ternyata cairan yang menetes ke bukunya adalah darah dari hidungnya, dan secepat mungkin Dara meraih kotak tissue di atas meja belajarnya untuk mengentikan mimisan yang ia alami. Ia beranjak ke kamar mandi dan membersihkan sisa-sisa darah yang masih ada dihidungnya, kemudian ia memutuskan untuk segera tidur karena kepalanya tiba-tiba terasa sangat pening.
*****
Esok harinya Dara pergi ke sekolah barunya di SMA Negeri 45, Bandung dengan diantar sopir pribadinya. Dara Seruni Prastiwi yang lebih akrab dipanggil Dara merupakan murid pindahan baru dari SMA Negeri 5, Jakarta. Ia pindah sekolah karena ayahnya yang seorang militer dipindah tugaskan di Bandung seminggu yang lalu. Ia sangat senang ketika mengetahui ayahnya akan dipindahkan ke Bandung, karena ia sangat suka dengan apapun mengenai Bandung. Selain udara yang masih bersih, panorama yang indah dan berbagai macam tempat yang menarik untuk dikunjungi, Dara juga tertarik dengan seorang cowok yang ia kenal melalui jejarig sosial media yang di sebut facebook. Sebut saja nama cowok yang ia kenal Kevin, ia juga merupakan salah satu murid di SMA Negeri 45, Bandung. Itulah mengapa Dara semakin antusias dengan kepindahannya ke Bandung walaupun ia juga sedih meninggalkan teman-temannya di Jakarta.
Hari pertama masuk sekolah Dara memperkenalkan dirinya di kelas barunya. Semua murid kelas XI B sudah masuk memenuhi kelas saat Dara diperkenalkan oleh salah satu guru yang akan mengajar. Ketika ia memperkenalkan diri, perhatian Dara teralih kepada seorang cowok yang duduk di kursi paling belakang pojok kanan. Ia tertarik memperhatikan cowok itu bukan karena cowok itu tampan atau keren, melainkan ia penasaran dengan cowok yang sedari tadi tak bergeming dan menundukkan kepalanya di atas meja seolah tak terganggu oleh riuh suara di sekitarnya.Setelah memperkenalkan diri Dara dipersilahkan untuk duduk di kursi depan cowok tersebut. Kemudian pelajaran pertama pun dimulai, baru saat itu cowok tersebut mengangkat kepalanya dan siap menerima pelajaran. Dara yang tiba-tiba menoleh kebelakang terkejut ketika tahu bahwa cowok yang sedari tadi mencuri perhatiannya adalah Kevin. Begitupun sebaliknya, Kevin juga terkejut mendapati Dara tengah melihatnya.
“Lho, kok kamu ada disini? Jadi kamu anak pindahan yang tadi ngomong di depan?” tanya Kevin tiba-tiba.
“Iya itu aku. Kamu juga di kelas ini? Nggak nyangka kalau kita bakal sekelas.” kata Dara tersenyum.
“Eh, entar aja dilanjutin ngobrolnya. Di depan itu guru paling killer di sekolah bisa mati kalau kita ketahuan ngobrol waktu dia menerangkan pelajaran.” kata Kevin kemudian.
“Oke deh selamat belajar.” Dara mengangguk dan kembali duduk menghadap papan tulis.
*****
Malam harinya Dara menulis peristiwa yang ia lewai seharian di buku diary kesayangannya. Setelah menulis tiba-tiba Dara merasa haus dan memutuskan untuk mengambil minum di dapur. Karena sudah malam tak ada orang yang berkeliaran di dalam rumah, semuanya mungkin sudah terlelap dalam tidurnya. Dara mengambil segelas air putih dan meneguknya perlahan. Ketika ia baru meneguk setengah dari isi gelasnya ia merasa kepalanya berat dan pusing dan tiba-tiba pandangannya kabur dan perlahan menjadi gelap.
Gelas yang ia pegang terlepas dari genggamannya dan jatuh terbelah di lantai. Bunyi yang ditimbulkan gelas tersebut membangunkan seisi rumah. Karena sesaat setelah terdengar bunyi gelas pecah tersebut mama, papa Dara dan pembantunya berlari ke arah terdengarnya suara tersebut. Mereka sangat terkejut mendapati Dara tengah tergeletak tak sadarkan diri di samping meja makan. Sesegera mungkin papanya menggendongnya ke kamar Dara.
“Dara, kamu mengapa nak. Bangun sayang, ayo nak bangun.” kata sang mama membangunkannya khawatir.
Beberapa saat kemudian Dara membuka matanya, dan ia melihat di sekitar tempat tidurnya telah berdiri mama, papa dan pembantunya dengan tatapan khawatir padanya.
“Mama, papa sama bibi mengapa disini?” tanya Dara bingung.
“Syukurlah kamu sudah sadar sayang. Mama, papa dan bibi sangat khawatir terjadi apa-apa dengan kamu nak. Bagaimana keadaan kamu sekarang Dara?” tanya sang mamam khawatir.
“Sewaktu Dara ambil minum tadi tiba-tiba kepala Dara pusing banget ma, terus tiba-tiba gelap dan Dara udah nggak tau apa-apa ma.” kata Dara menjelaskan.
“Lalu sekarang apa kepala kamu masih pusing? Apa perlu papa panggilkan dokter sayang?” tanya papanya yang sama khawatirnya seperti mamanya.
“Nggak usah pa, Dara udah baikan kok meski masih terasa sedikit pusing sih. Tapi udah nggak apa-apa kok pa.” tolak Dara,.
“Ya udah kalau begitu, kamu istirahat ya nak. Nanti kalau ada apa-apa kamu panggil mama atau papa ya Dara.” kata mamanya.
“Ya ma.” sahut Dara.
Kemudian mama, papa dan Bibi Ijah keluar dari kamar Dara dan membiarkan Dara beristirahat di kamarnya.
*****
Di lapangan basket telah dipenuhi para siswa yang melakukan aktivitas olah raga dan beberapa permainan. Mereka sangat menikmati hal tersebut walaupun tubuh mereka terkena terpapar sinar matahari yang terik. Nampak seorang gadis yang sedari tadi hanya melihat temannya bersenang-senang di pinggir lapangan. Ia tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang sejak tadi tak lepas dari pandangan ke arahnya, walaupun ia sedang bermain bola kaki bersama temannya. Kemudian pemilik sepasang mata itu menghampiri gadis tersebut dan berlari kecil kearahnya.
“Dara kamu mengapa kok nggak gabung bareng mereka?” tanyanya mengatur nafasnya yang masih tersengal akibat ia bermain sepak bola.
“Nggak apa-apa hanya pengen disini aja. Seru ngeliat kalian beraktivitas semau kalian di lapangan sana. Kamu sendiri ngapain Vin, nyamperin aku?” tanya Dara.
“Aku hanya sedih aja ngeliatin kamu duduk diam disini dari tadi. Apa kamu nggak mau melakukan apa yang mereka lakukan disana?” tanya Kevin sambil menunjuk ke arah lapangan.
“Aku pengen sih, tapi-” belum sempat Dara melanjutkan perkataanya, Kevin sudah menggandeng tangannya dan menarik Dara ke tengah lapangan. Saat dilapangan Kevin bertanya,
“Kamu nggak mau menikmati hangatnya terik matahari? Atau kamu nggak mau berolah raga?” tanya Kevin kemudian.
“Bukan begitu, tapi aku-” Dara menggantungkan penjelasannya karena bingung bagaimana menjelaskan alasan sebenarnya pada Kevin.
“Udah lah, kamu tenang aja kamu nggak bakalan jadi hitam gara-gara kepanasan begini.” kata Kevin menekankan.
Akhirnya Dara pun mempercayai Kevin dan ikut bergabung bersama para siswi yang sedang melakukan permainan bola voly disebagian area lapangan. Dara sangat senang dan menikmati permainan tersebut, begitupun dengan Kevin, ia senang melihat Dara tengah menikmati permainannya. Beberapa menit setelah Dara bermain bola voly, tiba-tiba saja pandangan mata Dara kabur dan kepalanya terasa pusing. Suara teriakan teman-teman di sekelilingnya terdengar samar dan semakin terdengar tidak jelas. Ia merasakan ada sesuatu yang dingin dan segar mengalir dari dalam hidungnya. Lalu ia meraba hidngnya dan melihat darah segar tengah mengalir dari hidungnya. Ia semakin tak bisa menyangga tubuhnya sehingga tubuhnya terhuyung dan terjatuh di lantai lapangan tempatnya berdiri. Seketika melihat hal tersebut, semua murid menghentikan aktivitasnya dan berlari ke arah Dara yang telah tergeletak tak sadarkan diri di tengah lapangan.
Kemudian para siswa mengangkat tubuh Dara dan segera membawanya ke ruang kesehatan sekolah. Didalam ruangan Dara langsung ditangani dokter yang bertugas di sana. Setelah sekitar lima belas menit Dara tak sadarkan diri, kini Dara telah bangun dari pingsannya. Ia menyapu pemandangan di sekelilingnya dan mendapati banyak sekali orang yang sedang mengelilinginya di sekitar ranjang tempatnya tidur tadi.
“Mengapa semuannya ada disini, aku ada dimana?” tanya Dara pada semua orang yang ada di sekelilingnya.
“kamu ada di ruang kesehatan nak, karena kamu tadi dibawa oleh anak-anak dalam keadaan tidak sadarkan diri. Bagaimana keadaan kamu sekarang? Apa sudah baikan?” tanya dokter yang menanganinya tadi.
“Uhm, kepala saya masih terasa sedikit pusing bu, tapi sudah baikan daripada tadi.” ujar Dara.
“Ya sudah kalau begitu ibu tinggal dulu yah, ini (Menunjuk obat yang ada di atas meja di dekat ranjang), kamu minum setelah makan ya. Temen kamu sedang mencarikan kamu makanan untuk minum obat, semoga lekas sembuh ya.” kata dokter panjang lebar.
Dara hanya mengangguk mendengar penjelasan dari dokter tersebut. Teman-teman Dara yang membawanya ke ruang kesehatan menemaninya ada beberapa yang disuruh gurunya untuk kembali ke aktivitas yang tadi dijalani.
“Bagaimana keadaan kamu Dara?” tanya seorang siswi yang bernama Ita.
“Ya udah agak enakan sih, hanya sedikit pusing dan mual aja. Makasih juga ya kalian udah nolongin aku, aku juga minta maaf kalau aku jadi ngrepotin kalian.” Kata Dara berterima kasih kepada teman-teman yang telah menolongnya.
“Kamu nggak usah ngerasa nggak enak sama kita, kan kamu temen kita walaupun kamu anak baru disini.” kata seorang lainnya.
Dara tersenyum mendengar ucapan temannya. Setelah beberapa menit dokter itu keluar dari ruang kesehatan, Kevin datang dengan membawa semangkuk bubur dan segelas teh manis hangat di atas nampan yang ia bawa dari kantin sekolah.
“Kamu udah baikan?” tanya Kevin meletakkan nampan di atas meja di dekat ranjang.
“Ya, lumayan. Itu apa?” tanya Dara penasaran dengan apa yang dibawa Kevin.
“Oh ini, ini bubur sama teh hangat buat kamu minum obat. Tadi Bu Annisa, dokter yang nanganin kamu nyuruh aku bawain ini ke kamu. Nih makan buburnya.” kata Kevin memberikan semangkuk bubur kepada Dara.
Dara melihat mangkuk bubur ditangannya kemudian dengan terpaksa ia memakan separuh buburnya karena ia menahan mual yang ia rasa. Kemudian Dara meminum obat yang diberikan kepadanya tadi dan menenggak habis teh hangat yang dibawa Kevin.
*****
Setelah kejadian Dara yang masuk ruang kesehatan, Ia dan Kevin menjadi semakin akrab dan menjadi teman baik. Meskipun mereka selalu bertengkar dan memperdebatkan masalah yang sepele yang sebenarnya tidak perlu dibahas. Semakin dekat hubungan pertemanan mereka, semakin Dara sering jatuh sakit. Kekebalan tubuhnya semakin menurun, ia sering mengalami pusing di kepalanya yang tak tertahankan, hingga badannya lemas dan sekujur tubuhnya sering terasa nyeri. Dan tak jarang pula ia mengalami pendarahan di hidungnya dan jatuh tak sadarkan diri setelah ia mimisan. Akibatnya orang tuanya selalu melarang Dara melakukan aktivitas yang berat dan membutuhkan energi yang lebih. Karena melihat kondisi Dara yang semakin hari semakin memburuk. Bahkan penyakit yang tidak seberapa membahayakan tubuhnya  seperti batuk dan pilek sering menyerangnya dan masa penyembuhannya sangat lama dari biasanya.
Dara sudah sering pergi kerumah sakit untuk berobat namun ia tak mau diperiksa lebih detail mengenai penyakit apa yang sebenarnya menyerang tubuhnya. Alasan Dara menolak hal tersebut adalah karena ia takut mengetahui kenyataan penyakit yang ia derita akan lebih parah dari apa yang ia bayangkan. Orang tua Dara mengikuti kemauannya karena ia putri tunggal yang sangat mereka sayangi. Namun orang tua Dara tak kehilangan akal untuk membohongi Dara agar Dara dapat diperiksa lebih detail.
Setelah membujuknya hampir dua bulan, akhirnya kedua orang tuanya berhasil. Sehingga Dara mau diperiksa lebih mendetail lagi mengenai penyakitnya. Setelah melakukan pemeriksaan berulang-ulang untuk memastikan hasil yang didapat lebih akurat, dokter yang memeriksanya memberitahukan bahwa penyakit yang diderita Dara adalah leukimia stadium akhir. Dimana dokter pun tidak bisa memperhitungkan waktu yang dimiliki Dara setelah ini. Kedua oarng tua Dara sangat terpukul mendengar penjelasan dokter mengenai kondisi putrinya. Hingga mama Dara jatuh tak sadarkan diri karena terkejut menerima kenyataan bahwa anaknya sudah tak lama lagi di dunia ini. Namun untuk menenangkan Dara kedua oarng tuanya sudah membuat kesepakatan bahwa mereka tak akan memberi tahukan kondisi sebenarnya kepada Dara walaupun sampai di ujung waktunya.
Semakin hari kondisi Dara semakin memburuk dan ia terpaksa harus dirawat inap di sebuah rumah sakit dekat rumahnya. Semenjak itu Dara absen dari sekolahnya namun bukan berarti Kevin juga absen mengunjungi Dara di rumah sakit. Kevin selalu mengunjungi Dara dan memberikan dara semangat untuk tetap bertahan melawan penyakit yang dideritanya. Kedua orang tua Dara merasa senang bila Kevin datang menjenguk putrinya, karena setiap kedatangan Kevin terlihat wajah yang gembira di wajah Dara meskipun ia merasa lemah dan bosan berada di rumah sakit setiap harinya.
Sudah sebulan yang lalu semenjak Dara dirawat di rumah sakit dan kedua orang tuanya menyembunyikan kebenaran kondisi Dara, dan kini pun terungkap. Saat itu Dara sudah mencapai puncak kebosanannya terkurung di kamar rumah sakit, sehingga ia memutuskan untuk berjalan-jalan keluar di saat kedua orang tuannya sedang dipangil oleh dokter yang menangani Dara ke ruangannya. Setelah Dara berhasil bangun dari ranjang dengan susah payah karena kondisinya sangat lemah dan pucat, ia pun duduk di kursi roda dan mulai memutar roda dan melaju perlahan. Setelah menikmati udara segar di taman rumah sakit Dara memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Dalam perjalanannya menuju kamarnya ia tertarik untuk menyusuri lorong di sebelah kanan kamarnya. Ia pun memutar roda kursinya dan menyusuri lorong tersebut, dan tiba-tiba ia berhenti tepat di suah pintu ruangan yang terbuka. Ia mengehentikan kursinya karena ia penasarang dengan apa yang dibicarakan di dalam ruangan tersebut, dimana pintu ruangan tersebut terbuka sedikit. Samar-samar Dara mendengar percakapan di dalam ruangan itu, ia semakin medekatkan telinganya dan menajamkan pendengarannya. Betapa kagetnya bahwa yang ia dengar adalah pembicaraan kedua orang tuanya dengan seorang dokter yang menanganinya dan ia mendengar semua itu dengan jelas setelah ia membuka pintu tersebut lebih lebar dan membuat orang tuanya dan dokter tersebut menoleh ke arahnya.
“Kalian, mengapa tega menyembunyikan ini semua dariku? Mengapa mama dan papa jahat sama Dara?” ucap Dara dalam tangisnya yang tak terbendung mendengar kenyataan bahwa ia terkena leukimia stadium akhir.
“Kami tak bermaksud menyembunyikannya sayang, tapi-” ucapan mamanya menggantuk di ujung lidahnya tak sanggup di teruskan dan ia mulai berkaca-kaca.
Kemudian Dara berlalu begitu saja meninggalkan kedua orang tuanya yang terdiam terpatung di tempatnya. Sesampai dikamarnya Dara menangis tersedu di balik bantal yang menutupi wajahnya. Sesaat kemudian orang tua Dara menghampirinya dan menjelaskan semuanya.
“Papa dan mama tidak berniat untuk menyembunyikan ini semua sayang, karena kami khawatir jika kamu mengetahui yang sebenarnya kondisi kamu akan semakin memburuk. Tapi kamu jangan khawatir sayang dokter tengah mengusahakan cangkok sum sum tulang belakang untuk kamu nak. Kamu yang kuat ya, melawan sakit yang kamu rasa. Kami yakin kamu akan baik begitupun kamu juga harus yakin bahwa kamu akan sembuh.” kata Papanya panjang lebar menjelaskan penjelasan yang selama ini disembunyikan darinya.
Dara mengerti perasaan kedua orang tuanya, semata-mata yang dilakukan orang tuanya hanyalah untuk kebaikan dan kesembuhannya. Namun Dara tidak mengerti sampai kapan waktunya ia bisa bertahan sampai ia menerima cangkok sum sum tulang belakang tersebut. Setelah mengetahui kondisi yang sebenarnya Dara menjadi semakin menurut dengan segala perintah dan anjuran baik dari kedua orang tuanya maupun dari dokter yang menanganinya. Namun kondisi Dara semakin hari semakin tidak stabil, kadang ia mulai membaik namun terkdaang kondisinya sangat mengkhawatirkan. Meskipun seperti itu tidak menyurutkan semangat Dara dan kedua oarng tuanya untuk sembuh.
*****
Kevin sampai saat ini belum mengetahui kondisi Dara yang sebenarnya, karena Dara telah meminta orang tuanya untuk tetap merahasiakan hal tersebut darinya. Karena Dara tidak ingin membuat Kevin khawatir dan mengasihaninya. Karena sesungguhnya benih cinta yang telah tertanam di lubuk hatinya tidak ingin melihat orang ia sayangi sedih dan merasa terpuruk apabila mengetahui umur Dara tidak akan lama lagi jika ia tak berhasil mendapatkan pencangkokan tersebut. Sekuat tenaga Dara selalu menyembunyikan kondisinya yang semakin melemah di hadapan Kevin karena ia khawatir Kevin sedih.
Sore itu Kevin kembali menjenguk Dara di rumah sakit disaat kondisi Dara sedang menurun. Namun seperti biasanya ia berusaha kuat di hadapan Kevin. Kedua oarng tuanya khawatir jika terjadi suatu hal yang diluar bayangan mereka, melihat kondisi Dara sekarang sangat mengkhawatirkan. Di luar rumah sakit sedang mendung dan udara terasa sangat dingin. Namun Dara meminta kepada Kevin untuk menemaninya pergi ke taman untuk menghilangkan kebosanan yang ia rasa. Kemudian Kevin meminta izin kepada orang tua Dara untuk menemaninya ke taman. Setelah berpikir cukup lama kedua orang tuanya akhirnya mengiyakan permintaan Dara dengan syarat di luar hanya sepuluh menit dan harus berpakaian tebal dan hangat lalu perginya ditemani seorang suster untuk berjaga-jaga. Semua syarat disetujui oleh Dara, namun syarat yang terakhir ia menolaknya karena ia yakin Kevin bisa menjaganya. Akhirnya kedua rang tuanya menyetujuinya, tapi tetap ada suster yang mengawasinya dalam jarak 10 meter dari tempat mereka. Sesampainya di taman Dara turun dari kursi roda dan duduk di samping kevin di bangku taman. Meskipun bangku taman yang terbuat dari besi terasa dingin akibat cuaca mendung tak dihiraukan oleh Dara. Yang terpenting ia bisa menghilangkan rasa kebosanannya dengan duduk bersebelahan dengan Kevin di taman.
“Vin boleh aku menyandarkan kepalaku di bahumu?” tanya Dara pada Kevin.
“Iya Ra boleh kok, sini bersandarlah.” kata Kevin memberikan bahunya.
Dara kini bersandar di bahu Kevin dan memejamkan matanya menikmati suasana sunyi dan dingin di taman tersebut. Mereka hanya terdiam dalam pikiran mereka masing-masing. Setelah beberapa menit Dara bersandar, Kevin bertanya pada Dara.
“Ra, ada yang mau aku omongin ke kamu Ra. Kamu mau dengerin nggak? Eh, tapi ngomongya di dalam aja ya. Disini mulai gerimis nanti kamu jadi tambah sakit. Ayo Ra kita kedalam.” ajak Kevin.
Namun Kevin tidak mendengar balasan dari Dara. Kevin mengira Dara tertidur, kemudian ia membangunkan Dara dan menepuk pelan pipinya. Kevin terkejut karena pipi Dara terasa sangat dingin dan bibirnya terlihat sangat pucat. Ia mengguncang pelan tubuh Dara, namun tak ada jawaban dan respon darinya. Tangan Kevin bergetar dan terlihat panik, ia meletakkan jari telunjuknya tepat di depan hidung Dara, namun Kevin tidak merasakan hembusan nafsa Dara. Kevin semakin panik dan gerimis pun semakin deras namun Kevin tak menghiraukan tubuhnya dan tubuh Dara mulai basah karena gerimis yang menerpa. Suster yang tadi disuruh untuk mengawasinya bergegas lari menghampiri Dara dan Kevin. Suster segera memeriksa keadaan Dara dan yang didapat adalah tubuh Dara sudah sangat pucat dan dingin seperti es. Suster memeriksa jantung Dara, namun ia tak menemukan denyutan di jantungnya. Kevin hanya bisa terpaku melihat Dara yang tak bergerak sedikit pun di lengan kananya. Air mata Kevin jatuh dan membuat bajunya semakin basah oleh air matanya.
“Padahal aku mau bilang, kalau aku sayang sama kamu Dara.” bisik Kevin lirih di telinganya di iringi cucuran air matanya yang membasahi pipi Dara.
Semenjak kepergian Dara, Kevin menjadi sangat menjukai untuk duduk terdiam merasakan gerimis hujan yang menetes membasahi tubuhnya. Karena ia akan merasakan kehadiran seseorang yang ia kasihi bersama tetesan gerimis. Dan saat gerimis datang dengan terpaan angin yang dingin pun terasa hangat di kulit Kevin. Kerinduan pada sosok yang ia sayang akan hilang saat gerimis datang menghampiri.

Puisi- Ini Cerita Dia dan Bintang




Dia adalah seseorang yang mampu membuka kembali hatiku.
Dia adalah orang tak terduga hadir dalam hariku yang sementara.
Dia hadir bukan untuk kumiliki.
Namun dia hadir untuk membawa tali persaudaraan.
Awalnya memang biasa saja.
Sikapnya yang dingin bagiku.
Tak lantas membuatku menjauh darinya.
Malah aku semakin tertarik mengenalnya lebih jauh.
Tapi tampaknya dia tak begitu terbuka padaku.
Dia memilih menutup dirinya.
Hingga aku tak tau maksud dalam jalinan saudara yang ia bawa.
Aku bahkan tak bisa menerka.
Dia bersungguh-sungguh atau hanya bergurau.
Aku tak mampu membaca geriknya.
Tak mampu mengira apa lakunya.
Hingga sampai waktu membatasi pertemuan kita.
Dia yang batu dan aku pun batu.
Tak ada yang mau menjadi rapuh satu sama lain.
Bersikeras dengan ego masing-masing.
Ego yang tak mau terlepas dari diri.
Membuat jarak kita semakin menjauh.
Sejauh bintang dengan bumi.
Sejauh ku menatap kerlipnya di langit.
Hingga hati hanya bergumam.
Inilah cerita dia dan bintang.

After Hiatus from This Blog :-)

Sejenak waktu tak akan terasa bila terus bergulir. Detik yang berganti jam dan hari yang kian betambah tahun membuatku lupa akan kenangan dalam setiap kata yang ada di dalam blogger ini. Lama sudah aku tak merawatmu. Jangankan untuk merawatmu, berkunjung pun aku tak sempat. Maafkan aku Curtain-Story telah mengabaikanmu setahun lalu. Kini sudah berganti tahun 2016 dan mulai saat ini aku akan setia dalam menemanimu menyusuri setiap harimu Curtain-Story. Aku akan menuliskan apa yang bisa aku tulis disini. Semoga pembaca blog ini juga semakin banyak dari sebelumnya :-)

Ayo bersenang-senang bersama Curtain-Story :-)


Wednesday, 1 July 2015 | By: Unknown

Seutas Tali Sepatu



Senandung merdu mengalun dengan asyiknya dari sebuah kotak hitam yang bersuara. Sepasang telinga yang sedari tadi menajamkan inderanya dan mengayunkan tubuhnya mengikuti alunan musikyang berasal dari radio tua warisan kakeknya yang sudah usang termakan oleh usia.
 “Aninda..cepat keluar, sarapan sudah siap jangan sampai kamu terlambat lagi nak.” Teriak mama Aninda yang membuat Aninda terusik keasyikannya mendengarkan musik kesukaannya.
“Ah, mama lebay banget sih. Kan udah tau kalau terlambat itu mah biasa buatku.” Gerutu Aninda
Aninda mulai beranjak untuk mandi, namun nampaknya ia masih belum rela mematikan radionya yang tengah memutarkan lagu kesukaannya,
”I’m big, big,girl..and I big,big world..isn’t a big, big thing if you leave me……”. Aninda masih mengikuti lagu yang diputar dari dalam kamar mandi, hingga akhirnya..
”Ma, kenapa radionya dimatikan ??” teriak Aninda
Ia sudah hafal dengan kebiasaan mamanya yang mematikan radio kalau ia belum juga keluar untuk sarapan.
 “Cepat selesaikan mandimu lalu sarapan ! ” perintah mamanya yang diiringi gerutuan Aninda dari dalam kamar mandi.
            Pukul 06.55 wib, Aninda berlari menuju gerbang sekolahnya yang sudah ditutup sepuluh menit yang lalu.Terang saja karena gerbang sekolahnya akan ditutup pada pukul 06.45 wib. Masih terengah-engah Aninda menggoyang-goyangkan pintu gerbang yang sudah tua namun masih terlihat begitu kokoh dan kuat. Tak lama kemudian keluarlah sesosok laki-laki paruh baya dengan seragam berwarna biru tua sedikit gelap, lengkap dengan tongkat pemukul berwarna hitam tergenggam erat di tangan kanannya.
 “Pak, tolong cepat bukakan pintu gerbangnya pak !!” pinta Aninda dengan wajah memelas dibalik pintu gerbang.
“Kamu ini,selau saja seperti ini. Mana janjimu yang kamu bilang tak akan terlambat lagi Nin ??” Tanya penjaga gerbang yang akrab dipanggil Pak Supri.
 “Iya deh pak, maaf aku belum bisa mewujudkan janjiku Pak. Tapi tolong deh Pak, beneran saya bisa mati karena ini jamnya Bu Meta.” Elak Aninda dengan masih tetap merajuk agar dibukakan pintu gerbang untuknya.
Tak beberapa lama Pak Supri pun membukakan pintu tersebut karena ia tau betapa galaknya Bu Meta yang pada umumnya terkenal sebagai guru matematika tergalak di sekolahnya Aninda.
“Yah, sudah ini yang terakhir saya bukakan pintu Nin karena saya kasihan kamu nanti kena hukum bu Meta.” Kata pak Supri.
 “Makasih pak..bapak emang satpam paling baik deh di sekolah ini.” Kata Aninda yang mengumbar senyum lalu melenggang pergi menuju ruang kelasnya.
Sementara pak Supri hanya mematung kebingungan mencerna omongan Aninda tadi. Yang pada kenyataannya hanya ada satu satpam di SMAN Darma Bakti, Bandung, sekolah Aninda.
            Masih dengan nafas yang terengah-engah akibat berlari dari pintu gerbang hingga menaiki tangga sampai di lantai tiga, Aninda Kemudian membuka pintu kelasnya, dan disaat bunyi derekan pintu yang terbuka semua isi kelas tersebut menoleh kearah bunyi di tengah kesunyian pelajaran yang sedang berlangsung. Dengan senyum tiga jari dan tampang tanpa dosa ia menyeruak kedalam ruang kelas dan duduk di bangkunya. Hal ini membuat sosok yang dikhawatirkan pak Supri geram.
 “NINDAA, apa yang kamu lakukan huh ??” bentak bu Meta dengan khasnya berkacak pinggang.
 “duduk bu” jawab Aninda polos.
“Seenaknya saja kamu masuk dan mengikuti pelajaran saya. Sudah telat tak tau sopan santun, apa sebenar di ajarkan kedua orang tua mu huh ??” Kesal bu Meta.
Dan Aninda pun merasa kesal karena bu Meta telah membawa orang tuanya dalam masalah itu.
“Berhenti membawa dan mencela orang tua saya. Saya terlambat itu karena kesalahan saya bu.” Kata Aninda dengan intonasi yang sedikit tinggi.
“Beraninya kamu menyangkal omongan saya, keluar kamu dari kelas saya. Saya tidak butuh punya murid pemalas sepertimu.” Hardik bu Meta.
Aninda pun melaksanakan perintah guru tersebut dan melangkah pergi meninggalkan kelas yang dipenuhi ketegangan para siswa yang ada
“siapa juga yang mau mengikuti pelajaran menyebalkan itu hufffftt.”kata Aninda dalam hati.
Belum jauh Aninda melangkah suara bu Meta menghentikan langkanya.
 “Enak sekali kau pergi tanpa hukuman, Kamu harus membersihkan kamar mandi putri, menghapus papan setelah saya mengajar, dan mengerjakan soal yang ada dihalaman 325-328 dikumpulkan besok pagi dimeja saya jam ke 0 sebelum pelajaran jam pertama dimulai." Perintah bu Meta panjang lebar.
Dan Aninda pun membelalakkan matanya mendengar serentetan hukuman yang ia dapatkan. Dia memang sering mendapatkan hukuman, tapi hukuman yang ia dapat paling- paling hanya membersihkan kamar mandi putri atau menata buku-buku di perpustakaan. Namun sekarang yang ia terima bukan hukuman namun segenap cara untuk membunuhnya dalam musibah yang ia dapatkan.
“tapi bu,,” Aninda mencoba untuk menego.
“Tidak ada kata tapi-tapian. Kalau tidak mau mengerjakan saya akan melaporkanmu ke kepala sekolah dan memberitahu kedua orang tuamu atas kelakuanmu, bagaimana ??” kata bu Meta tak tergoyahkan.
 “Baik bu saya akan mengerjakannya.” Kata Aninda akhirnya menyetujui perintah bu Meta.
Karena ia paling tidak bisa kalau sampai orang tuanya mengetahui kenakalannya di sekolah.
            Setelah ia membersihkan kamar mandi sebagai hukumannya tadi ia melanjutkan membersihkan papan tulis setelah pelajaran matematika berakhir. Setelah ia membersihkan papan tulis ia duduk di bangkunya kembali dan menenggelamkan kepalanya di kedua tanganya diatas meja karena ia sangat kelelahan.
Tiba-tiba datang seorang cowok dan berkata padanya, “Apakah kau lelah ??”.
Aninda hanya diam mendengar pertanyaan cowok itu. Melihat tak ada jawaban dari Aninda,
cowok itupun bertanya lagi,
 “Apa semua hukuman sudah kau selesaikan ??apa ada yang belum kau selesaikan dan perlu bantuan ?? aku siap membantumu kok..” Tanya cowok itu dengan tawaran bantuannya.
Lagi-lagi hanya diam yang ia dapat,dan ia bertanya sekali lagi,
“Apa yang bisa ku bantu agar hukumanmu selesai ??”.
”ARRHHH, BISA DIAM TIDAK KAU!!!” Bentak Aninda.
 Sontak hal itu membuat si cowok terhentak kaget.
 “Ahhh, bisa gila aku disini.”Kesal Aninda yang melengos meninggalkan ruang kelasnya.
Dimana cowok itu mengejar Aninda karena merasa bersalah telah membuatnya marah, namun sayangnya belum seberapa jauh ia mengejar bel pelajaran pun berbunyi tanda memasuki pelajaran selanjutnya. Sehingga cowok itu menghentikan langkahnya dan kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Berbeda dengan Aninda yang sekarang tak tau kemana ia pergi.
            Pelajaran pun telah dimulai, namun pikiran cowok itu berada di luar pelajaran yang sedang dijelaskan oleh gurunya. Pikirannya menerawang jauh mencari jawaban kemana Aninda pergi dan tak kembali kedalam kelas. Selang beberapa jam dan pelajaran puntelah berganti, namun Aninda belum juga kembali. Cowok itu bertanya dalam hatinya, kemana Aninda pergi  dan apa yang ia lakukan sekarang hingga ia tidak masuk ke kelas. Semakin lama pikiran dan hati yang gelisah karena perasaan bersalahnya semakin berkecambuk dan memenuhi seluruh ruang di otaknya, hingga ia memutuskan untuk izin keluar ke kamar mandi namun dibalik alasan itu sebenarnya ia akan mencari keberadaan Aninda. Ia berjalan memutari setiap jengkal tempat disekolah itu namun ia tidak dapat menemukan sosok yang ia cari. Akhirnya ia menyerah dan memutuskan untuk menghentikan pencariannya. Kini ia duduk di bangku panjang di dekat gerbang sekolah. Tiba-tiba ada orang yang menepuk pundaknya dari samping dan ia pun terkaget,
“AHH !!”. Namun setelah ia menoleh,
Ia mendapati yang mengagetkannya adalah satpam sekolahnya.
 “Ah, bapak mengagetkan saya saja.” Katanya.
“Oh, maaf kalau saya membuat anda kaget. Saya hanya hendak bertanya apa yang anda lakukan disini.” Jelas pak Supri, satpam yang mengagetkannya tadi.
 “Ah,itu. Saya sedang mencari teman saya pak namanya Aninda, dia sedari tadi tidak mengikuti pelajaran saya khawatir dengan dia pak,makanya saya mencarinya.” Jelas cowok itu panjang lebar dan pak Supri hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasannya.
 “Aninda ??”Tanya pak Supri memastikan.
 “Ya pak, namanya Aninda. Bapak mengenalnya ??kalau iya. Apakah bapak tau dia biasanya berada dimana ??” Tanya cowok itu.
 Pak Supri mencoba mencari tau jawaban yang di inginkan cowok itu, hingga akhirnya ia berkata,
 “Coba kamu cari di lantai paling atas gedung kelas atau dia biasa menyebutnya balkon.”
.“Begitu ya pak, kalau begitu terima kasih banyak pak.”Kata cowok itu.
Secepat kilat ia beranjak dan menuju ke tempat yang dikatakan pak Supri.
            Sesampainya ditempat itu ia mendapati sosok yang ia cari, yaitu Aninda yang tengah menagis tertunduk.
“Jangan mendekat !!” kata Aninda tiba-tiba saat cowok itu mulai mendekati Aninda yang telah berhenti menangis
Kemudian Aninda menyembunyikan tali sepatu yang sedari tadi ia pegang disela tangisnya.
“Eh,” cowok itu kaget mendengar ucapan Aninda, lalu ia bertanya
 “Kau kenapa ??kalau ada masalah ceritakan kepadaku, mungkin aku bisa membantumu.” Tawar cowok itu.
 “Apa aku tidak salah dengar ??bercerita kepadamu ?? aku saja tidak mengenalmu gimana aku bisa curhat kepadamu huh ??” Tanya Aninda.
“Oh, iya maaf. Aku Leo siswa pindahan dari SMAN Bina Nusa di Jogja. Nah sekarang kau bisa curhat kepadaku.” Kata cowok itu memperkenalkan diri dan mendekat kearah Aninda,
Dan kini ia duduk berdampingan dengannya di tepi gedung. Aninda menoleh menatap cowok itu, lalu ia merasakan kenangan masa lalu yang tak jelas itupun berlintasan di benak Aninda. Kini ia memejamkan mata menahan rasa sakit di kepala yang ia rasakan setelah melihat wajah cowok tadi.
 “Auuuww…sakit.” Rintih Aninda kesakitan.
Kontan cowok yang bernama Leo tadi kaget dan bingung dengan apa yang terjadi.
“Apa kau tidak apa-apa ??apa kepalamu sakit ?? ” Tanya Leo.
 Aninda hanya bisa merintih kesakitan sementara itu kenangan masa lalu itupun masih berkelebatan di otaknya, dan saking sakitnya hingga Anindapun tak sadarkan diri di pelukan Leo. Leo yang kebingungan dan khawatir langsung menggendong Aninda ke UKS untuk di berikan pertolongan. Beberapa waktu kemudian Aninda siuman, danLeo masih menungguinya sampai ia sadar. Setelah sadar, dengan kepala masih terasa pening Aninda mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya dan mendapati cowok yang bernama Leo tadi tengah menatapnya. Dan Tiba-tiba kenangan itu muncul kembali disertai rasa sakit yang sangat di kepalanya.
“Auuww..auuuwww.” rintihnya sambil ia menekan-nekan kepalanya kuat.
Leo pun bingung kenapa setiap Aninda melihatnya ia selalu merasa kepalanya sakit, tiba-tiba ia memanggil dokter yang tadi menanganinya. Sebelum dokter itu sampai di tempat Aninda terbaring, Aninda sudah tak sadrkan diri lagi. Hal ini mungkin karena ia tidak tahan dengan rasa sakit yang ia rasakan hingga membuat tubuhnya tak mampu menahannya dan jatuh pingsan. Hal ini membuat Leo semakin bingung dan sedih. Sebelum Aninda sadar dan melihatnya lagi Leo memutuskan untuk pergi meninggalkannya agar ia tidak sakit kembali. Agar Aninda bisa istirahat dengan cukup ia pun diantar pulang oleh guru piket pada hari itu.
            Kekhawatiran dan bingung yang dirasakan Leo membuatnya berkunjung ke rumah Aninda, diman alamatnya ia dapatka dari pak Supri. Dan sesampainya di rumah Aninda ia dipersilahkan masuk oleh ibunya, meskipun ia telah diberitahu ibunya kalau Aninda sedang istirahat namun ia tetap meminta agar bisa dipersilahkan masuk. Didalam rumah sederhana bertlantai 2 namun terasa nyaman itu,Leo mulai menceritakan apa yang dialami Aninda sewaktu tadi di balkon sekolah. Ibunya hanya mendengarkan cerita Leo sambil sesekali mengangguk dan berucap iya. Selesai bercerita ibu Aninda bertanya siapakah gerangan cowok yang sedari tadi bercerita panjang lebar serasa ia telah lama menjadi teman anaknya. Ibu Aninda terhentak kaget ketika mengetahui nama cowok dihadapannya adalah Leo. Mata ibu Aninda mulai berkaca-kaca dan kemudian ia mengingat kejadian lima tahun yang lalu dimana kejadian itulah yang membuat Aninda mennjadi pemalas, bertingkah dan sering merasakan sakit di kepalanya saat mengingat masa lalunya lima tahun yang lalu. Ibu Aninda bertanya kepada Leo untuk memastikan dugaannya,
“nak Leo, apakah namamu Leo Fernando teman SMP Ninda yang pindah ke jogja ??”.
 Leo mengangguk membenarkan pertanyaan ibunya Aninda.Setelah itu tiba-tiba ibunya bercerita apa yang menimpa Aninda lima tahun yang lalu.

            ** Flashback **

            Aninda kaget mendengar berita bahwa Leo akan pindah ke jogja dari berita yang didengar ibunya sewaktu berbelanja di sebuah swalayan. Secepat kilat Aninda menelpon Leo untuk menanyakan hal itu,
 “Leo, apakah kamu berencana akan pindah ke jogja ??” tanyanya dengan mulai berkaca-kaca.
“i..ii..yaa.” kata Leo terbata.
“Leo kenapa kau jahat sekali ??kenapa kau tidak bilang kalau kau mau pindah ke jogja huh ??” Tanya Aninda dengan suara yang mulai parau dan tangis yang ia tahan sedari tadi kini pecah membasahi pipinya.
“maafkan aku, aku tak sempat mengatakannya padamu.” Sesal Leo.
“kau sekarang ada dimana, ada yang ingin aku katakana padamu ??” Tanya Aninda.
 “Aku sedang menuju bandara akan berangkat ke jogja. Bisakah kau mengatakannya lewat telpon ??” kata Leo.
“tidak bisa. Ok, aku akan menyusulmu kesana.” Kata Aninda diiringi bunyi telepon yang terputus
“tuuth..tuuth..”. Segera setelah ia mengakhiri telponnya,
Aninda langsung memanggil taksi dan pergi ke bandara. Ibunya yang memperhatikannya semenjak ia menelpon Leo sampai ia berangkat ke bandara, ibunya hanya berpesan untuk berhati-hati di jalan, Aninda hanya mengangguk dan segera pergi.
            Ditengah perjalanan menuju bandara Aninda terjebak macet,semerntara Leo sudah menunggu kedatangan Aninda selama kurang lebih 20 menit menjadi resah dan khawatir dengannya. Dimana seharusnya waktu yang diperlukan dari rumah Aninda ke bandara hanya 15 menit itupun kalau macet. Ternyata yang menyebabkan macet adalah ban Truk muatan kayu gelondongan bocor di tengah jalan. Aninda resah dan memutuskan untuk berjalan dan mencari taksi lain di seberang jalan agar ia mampu menyusul Leo di bandara. Tiba-tiba saat ia mau menyeberang jalan ada satu mobil yang melaju sangat kencang dan menghantam tubuh Aninda yang tak sempat menghindar. Tubuhnya terpental sejauh tiga meter dan kepalanya terbentur pagar trotoar sangat keras. Semenjak kecelakaan yang menimpanya Aninda mengalami koma selama 2 minggu dan hilang ingatan terakhirnya dan semua kenangan yang berhubungan dengan kenangan terakhirnya akan teringat hanya samar-samar. Dan setiap ia mengingat atau teringat secara tidak sengaja Aninda akan merasaka sakit di kepalanya dan jatuh pingsan setelah beberapa menit kemudian.

            **Flashback End**

            Air mata Leo mengalir begitu deras mendengarkan cerita dari ibunya Aninda. Kini Leo tau kenapa setiap Aninda melihatnya ia merasakan sakit yang sangat di kepalanya. Dan kini Leo mendapatkan jawaban kenapa Aninda tak datang ke bandara lima tahun yang lalu. Leo merasa sangat menyesal, kenapa dulu ia tidak memberitahunya dan menghentikan Aninda agar tidak pergi ke bandara. Ia menagis tersedu-sedu menyesali perbuatannya, ibu Aninda menenangkan Leo. Setelah Leo sedikit tenang, ibu Aninda menawarkan agar Leo untuk melihat keadaanya Aninda dan Leo pun mengiyakan tawaran tersebut.Belum sampai Leo dan ibu Aninda beranjak dari duduknya keduannya dikejutkan dengan suara jatuh yang berasal dari lantai 2. Dengan segera Leo melompat diikuti oleh ibu Anida dibelakangnya berlari menuju sumber suara. Sesampainya di lantai 2 keduanya dikejutkan lagi dengan apa yang mereka lihat di kamar Aninda. Aninda tergeletak di dekat kasurnya dengan kaki yang basah, kemungkinan ia jatuh setelah dari kamar mandi. Dan yang tak kalah mengejutkan adalah disekitar kepala Aninda terlihat darah yang mengalir dari kepalanya. Dengan segera Aninda dilarikan ke rumah sakit terdekat.
            Sesampainya dirumah sakit Aninda langsung dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) untuk mendapatkan petolongan. Satu jam setelah Aninda mendapatkan perawatan medis ia siuman. Aninda mengerjapkan matanya perlahan dan mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Kedua mata Aninda terhenti ketika ia mendapati ibunya tengah memandangnya cemas dan sosok laki-laki yang tak kalah cemasnya dengan ibunya. Perlahan Aninda berucap,
“Mama..?? ehmm…”ia menunjuk laki-laki tadi,
 “L..eoo ??” tanyanya.
 Keduannya kaget mendengar perkataan Aninda. Setelah mendengar penjelasan dari dokter bahwa ingatan Aninda mulai kembali. Leo dan ibu Aninda merasa senang dan lega mendengar berita itu. Semenjak ingatan Aninda pulih semuanya menjadi jelas. Diantara Leo dan Aninda dapat mengatakan apa yang mereka alami selama lima tahun yang lalu dan saling memahami antar satu sama lain. Hari-harimenyenangkan  mereka lewati bersama, tawa canda dan sedih tak lepas dari keseharian mereka. Dan kini Aninda telah menjadi Aninda yang dulu lagi yang rajin, penurut dan tidak sakit-sakitan lagi.
            Pada hari sabtu, satu bulan semenjak Aninda keluar dari rumah sakit, ia dan Leo akan bertemu di suatu tempat yang Leo tentukan dimana lokasi dan waktunya. Pada waktu yang telah ditentukan keduanya akan bertemu di tempat itu namun mereka berangkat kesana sendiri-sendiri. Mereka merencanakan ini untuk merayakan hari jadi yang ke lima pertemanan mereka yang ditandai dengan pengikatan tali sepatu yang satu helainya dimiliki oleh keduannya. Tali itu diberikan Leo ketika ia dan Aninda berada di kelas 1 SMP sebagai symbol pertemanan. Dan disetiap tahunnya mereka berdua selalu merayakan hari jadi pertemanan mereka dengan mengikatkan tali tersebut lalu melepaskannya lagi,begitu kesepakatan mereka. Dan Tali itulah yang senantiasa Aninda jaga saat ia amnesia tanpa ia tahu alasan mengapa ia selalu menjaganya. Dan dihari ini adalah perayaan yang ke 5 pertemanan mereka, namun dibalik rencana perayaan Leo dan Aninda mempunyai sesuatu hal yang akan dibicarakan. Leo dan Aninda pun mulai berangkat menuju tempat yang telah ditentukan dengan arah jalan yang berlawanan seperti prinsip mengikat tali sepatu yang pada akhirnya akan menemukan ujung yang sama dan tersimpul ikatan setelahnya. Dalam perjalanan dimana Leo mengemudikan mobilnya seorang diri sedangkan Aninda tengah naik taksi, mereka saling bercakap-cakap melalui telpon. Namun ditengah mereka tengah asyik mengobrol di telepon sesuatu terjadi. “BBBBRRRRRAAKKKK……Tuuth..tuuth……tuuuuuuuuuuu……….”suara yang terdengar dari sambungan telepon Leo. Sontak Leo pun kaget dan cemas, dengan cepat ia membanting stir mobil putar haluan, karena sebelum terjadi hal itu Leo masih sempat mendengar bahwa Aninda tengah berada di jalan semangka yang berjarak 50 meter dari tempat ia membanting stir. Sesampainya disana, betapa kagetnya Leo melihat segerombolan orang di dekat pohon di pinggir jalan dan setelah ia mendekat ia sangat kaget melihat taksi yang ditumpangi Aninda terbalik dan menabrak pohon. Secepat kilat ia berlari menuju ke tempat Aninda dan melihat keadaan Aninda.
            Sesampainya di rumah sakit Aninda ditangani dokter yang berjaga malam di IGD. Kecelakaan yang menimpa Aninda malam ini sangat parah hingga membuatnya harus masuk ruang ICU. Sementara Leo hanya cemas di balik pintu dimana orang terkasihnya tengah berjuang diantara hidup dan matinya di ruang ICU. Beberapa menit berlalu mama Aninda telah sampai di rumah sakit dengan tangis kesedihan dan cemas yang menyertai kehadirannya. Leo dan ibu Aninda tak kuasa melihat dibalik pintu ruang ICU itu ada orang yang sama-sama mereka sayangi. Setelah menunggu tak berapa lama dokter keluar dari ruang ICU untuk memanggil keluarga pasien, dan menyampaikan bahwa pasien Aninda terus memanggil nama Leo. Leo dan ibu Aninda dengan segera masuk ke ruang ICU. Tangis ibu Aninda pecah ketika melihat anak semata wayangnya terbaring tak berdaya dengan semua alat medis yang menempel pada tubuh anaknya. Namun Leo masih menegarkan hati dan berusaha menenangkan ibu Aninda. Sesampainya mereka di tepi ranjang pasien, Aninda menoleh perlahan karena ia meraskan kehadiran mereka berdua. Tetes air mata mengalir lembut di pelipisnya, Aninda menggenggam tangan ibunya yang disambut dengan pelukan dan tangis dari ibunya, tentu saja itu membuat Aninda ikut menangis juga.
”M..ma..maa..fkan Anin..da, mam..ma..ja.n.ngan..me..nang..ngi..ss, Ni..nn..da..saaa.yang..mma..ma.” kata Aninda terbata menahan rasa sakit yang ia rasakan.
Ibunya hanya mengangguk mengiyakan apa yang Aninda katakan dan menangis di pelukan Aninda. Setelah itu ia melepas pelukan dan genggaman ibunya dan menggenggam tangan Leo yang sedari tadi mencoba untuk menahan tangisnya karena ia tidak mau membuat Aninda semakin sedih. Leo membalas geggaman tangan Aninda lembut. Ibu Aninda tak kuasa melihat anaknya seperti itu dan ia memutuskan keluar dari ruangan itu, karena ia tak kuasa melihat bahwa anaknya hanya punya waktu yang sedikit, begitu kata dokter yang menanganinya sebelum ia dan Leo masuk melihat Aninda. DI luar ruang ICU ibu Aninda senantiasa berdo’a agar anaknya diberikan mukjizat untuk sembuh.Sementara di dalm ruang ICU,
Leo mulai berkata masih dalam isak tangisnya, “Ani..nda,a.da y..ang i.nnng..in ak..u kat..akan pada…mu,,,ma..uka..h kau m..en..de..ngar..ka..nnya.. ??”.
 Aninda hanya menjawab dengan anggukan.
“Tapi sebelumnya kita mengikat tali sepatu ini dulu bagaimana ??” kata Leo sambil menunjukkan sepasang tali sepatu yang ia pegang, satu miliknya dan pasangannya milik Aninda yang ia ambil saat Aninda masuk ke ruang IGD.
 Leo memberikan tali sepatu Aninda dan mereka mulai mengikatkan sepasang tali sepatu. Isak tangis masih mengiringi mereka berdua.Setelah selesai terikat tali sepatu tersebut mereka genggam berdua dan Leo mulai berkata,
“A..ni..nnda..yaa.ngg.iin…ngin.a..kku..ka..t..aa…ka..kan….ba..h..w..wa…..a..ku..ak..ku..me..n..cin..tai…mu….I..Love..U..Aninda.” katanya terbata.
Mendengarnya Aninda sedikit kaget namun tak terlihat jelas karena keadaanya yang sangat lemah dan kesakitan, namun ia mulai berkata,
“A..kk..kkuu..ju..g..ga..me..n..cint..taimu..Le..o…..” kata Aninda di hembusan napasnya yang terakhir………………………………………………….


* THE END *