Wednesday, 1 July 2015 | By: Unknown

Seutas Tali Sepatu



Senandung merdu mengalun dengan asyiknya dari sebuah kotak hitam yang bersuara. Sepasang telinga yang sedari tadi menajamkan inderanya dan mengayunkan tubuhnya mengikuti alunan musikyang berasal dari radio tua warisan kakeknya yang sudah usang termakan oleh usia.
 “Aninda..cepat keluar, sarapan sudah siap jangan sampai kamu terlambat lagi nak.” Teriak mama Aninda yang membuat Aninda terusik keasyikannya mendengarkan musik kesukaannya.
“Ah, mama lebay banget sih. Kan udah tau kalau terlambat itu mah biasa buatku.” Gerutu Aninda
Aninda mulai beranjak untuk mandi, namun nampaknya ia masih belum rela mematikan radionya yang tengah memutarkan lagu kesukaannya,
”I’m big, big,girl..and I big,big world..isn’t a big, big thing if you leave me……”. Aninda masih mengikuti lagu yang diputar dari dalam kamar mandi, hingga akhirnya..
”Ma, kenapa radionya dimatikan ??” teriak Aninda
Ia sudah hafal dengan kebiasaan mamanya yang mematikan radio kalau ia belum juga keluar untuk sarapan.
 “Cepat selesaikan mandimu lalu sarapan ! ” perintah mamanya yang diiringi gerutuan Aninda dari dalam kamar mandi.
            Pukul 06.55 wib, Aninda berlari menuju gerbang sekolahnya yang sudah ditutup sepuluh menit yang lalu.Terang saja karena gerbang sekolahnya akan ditutup pada pukul 06.45 wib. Masih terengah-engah Aninda menggoyang-goyangkan pintu gerbang yang sudah tua namun masih terlihat begitu kokoh dan kuat. Tak lama kemudian keluarlah sesosok laki-laki paruh baya dengan seragam berwarna biru tua sedikit gelap, lengkap dengan tongkat pemukul berwarna hitam tergenggam erat di tangan kanannya.
 “Pak, tolong cepat bukakan pintu gerbangnya pak !!” pinta Aninda dengan wajah memelas dibalik pintu gerbang.
“Kamu ini,selau saja seperti ini. Mana janjimu yang kamu bilang tak akan terlambat lagi Nin ??” Tanya penjaga gerbang yang akrab dipanggil Pak Supri.
 “Iya deh pak, maaf aku belum bisa mewujudkan janjiku Pak. Tapi tolong deh Pak, beneran saya bisa mati karena ini jamnya Bu Meta.” Elak Aninda dengan masih tetap merajuk agar dibukakan pintu gerbang untuknya.
Tak beberapa lama Pak Supri pun membukakan pintu tersebut karena ia tau betapa galaknya Bu Meta yang pada umumnya terkenal sebagai guru matematika tergalak di sekolahnya Aninda.
“Yah, sudah ini yang terakhir saya bukakan pintu Nin karena saya kasihan kamu nanti kena hukum bu Meta.” Kata pak Supri.
 “Makasih pak..bapak emang satpam paling baik deh di sekolah ini.” Kata Aninda yang mengumbar senyum lalu melenggang pergi menuju ruang kelasnya.
Sementara pak Supri hanya mematung kebingungan mencerna omongan Aninda tadi. Yang pada kenyataannya hanya ada satu satpam di SMAN Darma Bakti, Bandung, sekolah Aninda.
            Masih dengan nafas yang terengah-engah akibat berlari dari pintu gerbang hingga menaiki tangga sampai di lantai tiga, Aninda Kemudian membuka pintu kelasnya, dan disaat bunyi derekan pintu yang terbuka semua isi kelas tersebut menoleh kearah bunyi di tengah kesunyian pelajaran yang sedang berlangsung. Dengan senyum tiga jari dan tampang tanpa dosa ia menyeruak kedalam ruang kelas dan duduk di bangkunya. Hal ini membuat sosok yang dikhawatirkan pak Supri geram.
 “NINDAA, apa yang kamu lakukan huh ??” bentak bu Meta dengan khasnya berkacak pinggang.
 “duduk bu” jawab Aninda polos.
“Seenaknya saja kamu masuk dan mengikuti pelajaran saya. Sudah telat tak tau sopan santun, apa sebenar di ajarkan kedua orang tua mu huh ??” Kesal bu Meta.
Dan Aninda pun merasa kesal karena bu Meta telah membawa orang tuanya dalam masalah itu.
“Berhenti membawa dan mencela orang tua saya. Saya terlambat itu karena kesalahan saya bu.” Kata Aninda dengan intonasi yang sedikit tinggi.
“Beraninya kamu menyangkal omongan saya, keluar kamu dari kelas saya. Saya tidak butuh punya murid pemalas sepertimu.” Hardik bu Meta.
Aninda pun melaksanakan perintah guru tersebut dan melangkah pergi meninggalkan kelas yang dipenuhi ketegangan para siswa yang ada
“siapa juga yang mau mengikuti pelajaran menyebalkan itu hufffftt.”kata Aninda dalam hati.
Belum jauh Aninda melangkah suara bu Meta menghentikan langkanya.
 “Enak sekali kau pergi tanpa hukuman, Kamu harus membersihkan kamar mandi putri, menghapus papan setelah saya mengajar, dan mengerjakan soal yang ada dihalaman 325-328 dikumpulkan besok pagi dimeja saya jam ke 0 sebelum pelajaran jam pertama dimulai." Perintah bu Meta panjang lebar.
Dan Aninda pun membelalakkan matanya mendengar serentetan hukuman yang ia dapatkan. Dia memang sering mendapatkan hukuman, tapi hukuman yang ia dapat paling- paling hanya membersihkan kamar mandi putri atau menata buku-buku di perpustakaan. Namun sekarang yang ia terima bukan hukuman namun segenap cara untuk membunuhnya dalam musibah yang ia dapatkan.
“tapi bu,,” Aninda mencoba untuk menego.
“Tidak ada kata tapi-tapian. Kalau tidak mau mengerjakan saya akan melaporkanmu ke kepala sekolah dan memberitahu kedua orang tuamu atas kelakuanmu, bagaimana ??” kata bu Meta tak tergoyahkan.
 “Baik bu saya akan mengerjakannya.” Kata Aninda akhirnya menyetujui perintah bu Meta.
Karena ia paling tidak bisa kalau sampai orang tuanya mengetahui kenakalannya di sekolah.
            Setelah ia membersihkan kamar mandi sebagai hukumannya tadi ia melanjutkan membersihkan papan tulis setelah pelajaran matematika berakhir. Setelah ia membersihkan papan tulis ia duduk di bangkunya kembali dan menenggelamkan kepalanya di kedua tanganya diatas meja karena ia sangat kelelahan.
Tiba-tiba datang seorang cowok dan berkata padanya, “Apakah kau lelah ??”.
Aninda hanya diam mendengar pertanyaan cowok itu. Melihat tak ada jawaban dari Aninda,
cowok itupun bertanya lagi,
 “Apa semua hukuman sudah kau selesaikan ??apa ada yang belum kau selesaikan dan perlu bantuan ?? aku siap membantumu kok..” Tanya cowok itu dengan tawaran bantuannya.
Lagi-lagi hanya diam yang ia dapat,dan ia bertanya sekali lagi,
“Apa yang bisa ku bantu agar hukumanmu selesai ??”.
”ARRHHH, BISA DIAM TIDAK KAU!!!” Bentak Aninda.
 Sontak hal itu membuat si cowok terhentak kaget.
 “Ahhh, bisa gila aku disini.”Kesal Aninda yang melengos meninggalkan ruang kelasnya.
Dimana cowok itu mengejar Aninda karena merasa bersalah telah membuatnya marah, namun sayangnya belum seberapa jauh ia mengejar bel pelajaran pun berbunyi tanda memasuki pelajaran selanjutnya. Sehingga cowok itu menghentikan langkahnya dan kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Berbeda dengan Aninda yang sekarang tak tau kemana ia pergi.
            Pelajaran pun telah dimulai, namun pikiran cowok itu berada di luar pelajaran yang sedang dijelaskan oleh gurunya. Pikirannya menerawang jauh mencari jawaban kemana Aninda pergi dan tak kembali kedalam kelas. Selang beberapa jam dan pelajaran puntelah berganti, namun Aninda belum juga kembali. Cowok itu bertanya dalam hatinya, kemana Aninda pergi  dan apa yang ia lakukan sekarang hingga ia tidak masuk ke kelas. Semakin lama pikiran dan hati yang gelisah karena perasaan bersalahnya semakin berkecambuk dan memenuhi seluruh ruang di otaknya, hingga ia memutuskan untuk izin keluar ke kamar mandi namun dibalik alasan itu sebenarnya ia akan mencari keberadaan Aninda. Ia berjalan memutari setiap jengkal tempat disekolah itu namun ia tidak dapat menemukan sosok yang ia cari. Akhirnya ia menyerah dan memutuskan untuk menghentikan pencariannya. Kini ia duduk di bangku panjang di dekat gerbang sekolah. Tiba-tiba ada orang yang menepuk pundaknya dari samping dan ia pun terkaget,
“AHH !!”. Namun setelah ia menoleh,
Ia mendapati yang mengagetkannya adalah satpam sekolahnya.
 “Ah, bapak mengagetkan saya saja.” Katanya.
“Oh, maaf kalau saya membuat anda kaget. Saya hanya hendak bertanya apa yang anda lakukan disini.” Jelas pak Supri, satpam yang mengagetkannya tadi.
 “Ah,itu. Saya sedang mencari teman saya pak namanya Aninda, dia sedari tadi tidak mengikuti pelajaran saya khawatir dengan dia pak,makanya saya mencarinya.” Jelas cowok itu panjang lebar dan pak Supri hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasannya.
 “Aninda ??”Tanya pak Supri memastikan.
 “Ya pak, namanya Aninda. Bapak mengenalnya ??kalau iya. Apakah bapak tau dia biasanya berada dimana ??” Tanya cowok itu.
 Pak Supri mencoba mencari tau jawaban yang di inginkan cowok itu, hingga akhirnya ia berkata,
 “Coba kamu cari di lantai paling atas gedung kelas atau dia biasa menyebutnya balkon.”
.“Begitu ya pak, kalau begitu terima kasih banyak pak.”Kata cowok itu.
Secepat kilat ia beranjak dan menuju ke tempat yang dikatakan pak Supri.
            Sesampainya ditempat itu ia mendapati sosok yang ia cari, yaitu Aninda yang tengah menagis tertunduk.
“Jangan mendekat !!” kata Aninda tiba-tiba saat cowok itu mulai mendekati Aninda yang telah berhenti menangis
Kemudian Aninda menyembunyikan tali sepatu yang sedari tadi ia pegang disela tangisnya.
“Eh,” cowok itu kaget mendengar ucapan Aninda, lalu ia bertanya
 “Kau kenapa ??kalau ada masalah ceritakan kepadaku, mungkin aku bisa membantumu.” Tawar cowok itu.
 “Apa aku tidak salah dengar ??bercerita kepadamu ?? aku saja tidak mengenalmu gimana aku bisa curhat kepadamu huh ??” Tanya Aninda.
“Oh, iya maaf. Aku Leo siswa pindahan dari SMAN Bina Nusa di Jogja. Nah sekarang kau bisa curhat kepadaku.” Kata cowok itu memperkenalkan diri dan mendekat kearah Aninda,
Dan kini ia duduk berdampingan dengannya di tepi gedung. Aninda menoleh menatap cowok itu, lalu ia merasakan kenangan masa lalu yang tak jelas itupun berlintasan di benak Aninda. Kini ia memejamkan mata menahan rasa sakit di kepala yang ia rasakan setelah melihat wajah cowok tadi.
 “Auuuww…sakit.” Rintih Aninda kesakitan.
Kontan cowok yang bernama Leo tadi kaget dan bingung dengan apa yang terjadi.
“Apa kau tidak apa-apa ??apa kepalamu sakit ?? ” Tanya Leo.
 Aninda hanya bisa merintih kesakitan sementara itu kenangan masa lalu itupun masih berkelebatan di otaknya, dan saking sakitnya hingga Anindapun tak sadarkan diri di pelukan Leo. Leo yang kebingungan dan khawatir langsung menggendong Aninda ke UKS untuk di berikan pertolongan. Beberapa waktu kemudian Aninda siuman, danLeo masih menungguinya sampai ia sadar. Setelah sadar, dengan kepala masih terasa pening Aninda mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya dan mendapati cowok yang bernama Leo tadi tengah menatapnya. Dan Tiba-tiba kenangan itu muncul kembali disertai rasa sakit yang sangat di kepalanya.
“Auuww..auuuwww.” rintihnya sambil ia menekan-nekan kepalanya kuat.
Leo pun bingung kenapa setiap Aninda melihatnya ia selalu merasa kepalanya sakit, tiba-tiba ia memanggil dokter yang tadi menanganinya. Sebelum dokter itu sampai di tempat Aninda terbaring, Aninda sudah tak sadrkan diri lagi. Hal ini mungkin karena ia tidak tahan dengan rasa sakit yang ia rasakan hingga membuat tubuhnya tak mampu menahannya dan jatuh pingsan. Hal ini membuat Leo semakin bingung dan sedih. Sebelum Aninda sadar dan melihatnya lagi Leo memutuskan untuk pergi meninggalkannya agar ia tidak sakit kembali. Agar Aninda bisa istirahat dengan cukup ia pun diantar pulang oleh guru piket pada hari itu.
            Kekhawatiran dan bingung yang dirasakan Leo membuatnya berkunjung ke rumah Aninda, diman alamatnya ia dapatka dari pak Supri. Dan sesampainya di rumah Aninda ia dipersilahkan masuk oleh ibunya, meskipun ia telah diberitahu ibunya kalau Aninda sedang istirahat namun ia tetap meminta agar bisa dipersilahkan masuk. Didalam rumah sederhana bertlantai 2 namun terasa nyaman itu,Leo mulai menceritakan apa yang dialami Aninda sewaktu tadi di balkon sekolah. Ibunya hanya mendengarkan cerita Leo sambil sesekali mengangguk dan berucap iya. Selesai bercerita ibu Aninda bertanya siapakah gerangan cowok yang sedari tadi bercerita panjang lebar serasa ia telah lama menjadi teman anaknya. Ibu Aninda terhentak kaget ketika mengetahui nama cowok dihadapannya adalah Leo. Mata ibu Aninda mulai berkaca-kaca dan kemudian ia mengingat kejadian lima tahun yang lalu dimana kejadian itulah yang membuat Aninda mennjadi pemalas, bertingkah dan sering merasakan sakit di kepalanya saat mengingat masa lalunya lima tahun yang lalu. Ibu Aninda bertanya kepada Leo untuk memastikan dugaannya,
“nak Leo, apakah namamu Leo Fernando teman SMP Ninda yang pindah ke jogja ??”.
 Leo mengangguk membenarkan pertanyaan ibunya Aninda.Setelah itu tiba-tiba ibunya bercerita apa yang menimpa Aninda lima tahun yang lalu.

            ** Flashback **

            Aninda kaget mendengar berita bahwa Leo akan pindah ke jogja dari berita yang didengar ibunya sewaktu berbelanja di sebuah swalayan. Secepat kilat Aninda menelpon Leo untuk menanyakan hal itu,
 “Leo, apakah kamu berencana akan pindah ke jogja ??” tanyanya dengan mulai berkaca-kaca.
“i..ii..yaa.” kata Leo terbata.
“Leo kenapa kau jahat sekali ??kenapa kau tidak bilang kalau kau mau pindah ke jogja huh ??” Tanya Aninda dengan suara yang mulai parau dan tangis yang ia tahan sedari tadi kini pecah membasahi pipinya.
“maafkan aku, aku tak sempat mengatakannya padamu.” Sesal Leo.
“kau sekarang ada dimana, ada yang ingin aku katakana padamu ??” Tanya Aninda.
 “Aku sedang menuju bandara akan berangkat ke jogja. Bisakah kau mengatakannya lewat telpon ??” kata Leo.
“tidak bisa. Ok, aku akan menyusulmu kesana.” Kata Aninda diiringi bunyi telepon yang terputus
“tuuth..tuuth..”. Segera setelah ia mengakhiri telponnya,
Aninda langsung memanggil taksi dan pergi ke bandara. Ibunya yang memperhatikannya semenjak ia menelpon Leo sampai ia berangkat ke bandara, ibunya hanya berpesan untuk berhati-hati di jalan, Aninda hanya mengangguk dan segera pergi.
            Ditengah perjalanan menuju bandara Aninda terjebak macet,semerntara Leo sudah menunggu kedatangan Aninda selama kurang lebih 20 menit menjadi resah dan khawatir dengannya. Dimana seharusnya waktu yang diperlukan dari rumah Aninda ke bandara hanya 15 menit itupun kalau macet. Ternyata yang menyebabkan macet adalah ban Truk muatan kayu gelondongan bocor di tengah jalan. Aninda resah dan memutuskan untuk berjalan dan mencari taksi lain di seberang jalan agar ia mampu menyusul Leo di bandara. Tiba-tiba saat ia mau menyeberang jalan ada satu mobil yang melaju sangat kencang dan menghantam tubuh Aninda yang tak sempat menghindar. Tubuhnya terpental sejauh tiga meter dan kepalanya terbentur pagar trotoar sangat keras. Semenjak kecelakaan yang menimpanya Aninda mengalami koma selama 2 minggu dan hilang ingatan terakhirnya dan semua kenangan yang berhubungan dengan kenangan terakhirnya akan teringat hanya samar-samar. Dan setiap ia mengingat atau teringat secara tidak sengaja Aninda akan merasaka sakit di kepalanya dan jatuh pingsan setelah beberapa menit kemudian.

            **Flashback End**

            Air mata Leo mengalir begitu deras mendengarkan cerita dari ibunya Aninda. Kini Leo tau kenapa setiap Aninda melihatnya ia merasakan sakit yang sangat di kepalanya. Dan kini Leo mendapatkan jawaban kenapa Aninda tak datang ke bandara lima tahun yang lalu. Leo merasa sangat menyesal, kenapa dulu ia tidak memberitahunya dan menghentikan Aninda agar tidak pergi ke bandara. Ia menagis tersedu-sedu menyesali perbuatannya, ibu Aninda menenangkan Leo. Setelah Leo sedikit tenang, ibu Aninda menawarkan agar Leo untuk melihat keadaanya Aninda dan Leo pun mengiyakan tawaran tersebut.Belum sampai Leo dan ibu Aninda beranjak dari duduknya keduannya dikejutkan dengan suara jatuh yang berasal dari lantai 2. Dengan segera Leo melompat diikuti oleh ibu Anida dibelakangnya berlari menuju sumber suara. Sesampainya di lantai 2 keduanya dikejutkan lagi dengan apa yang mereka lihat di kamar Aninda. Aninda tergeletak di dekat kasurnya dengan kaki yang basah, kemungkinan ia jatuh setelah dari kamar mandi. Dan yang tak kalah mengejutkan adalah disekitar kepala Aninda terlihat darah yang mengalir dari kepalanya. Dengan segera Aninda dilarikan ke rumah sakit terdekat.
            Sesampainya dirumah sakit Aninda langsung dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) untuk mendapatkan petolongan. Satu jam setelah Aninda mendapatkan perawatan medis ia siuman. Aninda mengerjapkan matanya perlahan dan mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Kedua mata Aninda terhenti ketika ia mendapati ibunya tengah memandangnya cemas dan sosok laki-laki yang tak kalah cemasnya dengan ibunya. Perlahan Aninda berucap,
“Mama..?? ehmm…”ia menunjuk laki-laki tadi,
 “L..eoo ??” tanyanya.
 Keduannya kaget mendengar perkataan Aninda. Setelah mendengar penjelasan dari dokter bahwa ingatan Aninda mulai kembali. Leo dan ibu Aninda merasa senang dan lega mendengar berita itu. Semenjak ingatan Aninda pulih semuanya menjadi jelas. Diantara Leo dan Aninda dapat mengatakan apa yang mereka alami selama lima tahun yang lalu dan saling memahami antar satu sama lain. Hari-harimenyenangkan  mereka lewati bersama, tawa canda dan sedih tak lepas dari keseharian mereka. Dan kini Aninda telah menjadi Aninda yang dulu lagi yang rajin, penurut dan tidak sakit-sakitan lagi.
            Pada hari sabtu, satu bulan semenjak Aninda keluar dari rumah sakit, ia dan Leo akan bertemu di suatu tempat yang Leo tentukan dimana lokasi dan waktunya. Pada waktu yang telah ditentukan keduanya akan bertemu di tempat itu namun mereka berangkat kesana sendiri-sendiri. Mereka merencanakan ini untuk merayakan hari jadi yang ke lima pertemanan mereka yang ditandai dengan pengikatan tali sepatu yang satu helainya dimiliki oleh keduannya. Tali itu diberikan Leo ketika ia dan Aninda berada di kelas 1 SMP sebagai symbol pertemanan. Dan disetiap tahunnya mereka berdua selalu merayakan hari jadi pertemanan mereka dengan mengikatkan tali tersebut lalu melepaskannya lagi,begitu kesepakatan mereka. Dan Tali itulah yang senantiasa Aninda jaga saat ia amnesia tanpa ia tahu alasan mengapa ia selalu menjaganya. Dan dihari ini adalah perayaan yang ke 5 pertemanan mereka, namun dibalik rencana perayaan Leo dan Aninda mempunyai sesuatu hal yang akan dibicarakan. Leo dan Aninda pun mulai berangkat menuju tempat yang telah ditentukan dengan arah jalan yang berlawanan seperti prinsip mengikat tali sepatu yang pada akhirnya akan menemukan ujung yang sama dan tersimpul ikatan setelahnya. Dalam perjalanan dimana Leo mengemudikan mobilnya seorang diri sedangkan Aninda tengah naik taksi, mereka saling bercakap-cakap melalui telpon. Namun ditengah mereka tengah asyik mengobrol di telepon sesuatu terjadi. “BBBBRRRRRAAKKKK……Tuuth..tuuth……tuuuuuuuuuuu……….”suara yang terdengar dari sambungan telepon Leo. Sontak Leo pun kaget dan cemas, dengan cepat ia membanting stir mobil putar haluan, karena sebelum terjadi hal itu Leo masih sempat mendengar bahwa Aninda tengah berada di jalan semangka yang berjarak 50 meter dari tempat ia membanting stir. Sesampainya disana, betapa kagetnya Leo melihat segerombolan orang di dekat pohon di pinggir jalan dan setelah ia mendekat ia sangat kaget melihat taksi yang ditumpangi Aninda terbalik dan menabrak pohon. Secepat kilat ia berlari menuju ke tempat Aninda dan melihat keadaan Aninda.
            Sesampainya di rumah sakit Aninda ditangani dokter yang berjaga malam di IGD. Kecelakaan yang menimpa Aninda malam ini sangat parah hingga membuatnya harus masuk ruang ICU. Sementara Leo hanya cemas di balik pintu dimana orang terkasihnya tengah berjuang diantara hidup dan matinya di ruang ICU. Beberapa menit berlalu mama Aninda telah sampai di rumah sakit dengan tangis kesedihan dan cemas yang menyertai kehadirannya. Leo dan ibu Aninda tak kuasa melihat dibalik pintu ruang ICU itu ada orang yang sama-sama mereka sayangi. Setelah menunggu tak berapa lama dokter keluar dari ruang ICU untuk memanggil keluarga pasien, dan menyampaikan bahwa pasien Aninda terus memanggil nama Leo. Leo dan ibu Aninda dengan segera masuk ke ruang ICU. Tangis ibu Aninda pecah ketika melihat anak semata wayangnya terbaring tak berdaya dengan semua alat medis yang menempel pada tubuh anaknya. Namun Leo masih menegarkan hati dan berusaha menenangkan ibu Aninda. Sesampainya mereka di tepi ranjang pasien, Aninda menoleh perlahan karena ia meraskan kehadiran mereka berdua. Tetes air mata mengalir lembut di pelipisnya, Aninda menggenggam tangan ibunya yang disambut dengan pelukan dan tangis dari ibunya, tentu saja itu membuat Aninda ikut menangis juga.
”M..ma..maa..fkan Anin..da, mam..ma..ja.n.ngan..me..nang..ngi..ss, Ni..nn..da..saaa.yang..mma..ma.” kata Aninda terbata menahan rasa sakit yang ia rasakan.
Ibunya hanya mengangguk mengiyakan apa yang Aninda katakan dan menangis di pelukan Aninda. Setelah itu ia melepas pelukan dan genggaman ibunya dan menggenggam tangan Leo yang sedari tadi mencoba untuk menahan tangisnya karena ia tidak mau membuat Aninda semakin sedih. Leo membalas geggaman tangan Aninda lembut. Ibu Aninda tak kuasa melihat anaknya seperti itu dan ia memutuskan keluar dari ruangan itu, karena ia tak kuasa melihat bahwa anaknya hanya punya waktu yang sedikit, begitu kata dokter yang menanganinya sebelum ia dan Leo masuk melihat Aninda. DI luar ruang ICU ibu Aninda senantiasa berdo’a agar anaknya diberikan mukjizat untuk sembuh.Sementara di dalm ruang ICU,
Leo mulai berkata masih dalam isak tangisnya, “Ani..nda,a.da y..ang i.nnng..in ak..u kat..akan pada…mu,,,ma..uka..h kau m..en..de..ngar..ka..nnya.. ??”.
 Aninda hanya menjawab dengan anggukan.
“Tapi sebelumnya kita mengikat tali sepatu ini dulu bagaimana ??” kata Leo sambil menunjukkan sepasang tali sepatu yang ia pegang, satu miliknya dan pasangannya milik Aninda yang ia ambil saat Aninda masuk ke ruang IGD.
 Leo memberikan tali sepatu Aninda dan mereka mulai mengikatkan sepasang tali sepatu. Isak tangis masih mengiringi mereka berdua.Setelah selesai terikat tali sepatu tersebut mereka genggam berdua dan Leo mulai berkata,
“A..ni..nnda..yaa.ngg.iin…ngin.a..kku..ka..t..aa…ka..kan….ba..h..w..wa…..a..ku..ak..ku..me..n..cin..tai…mu….I..Love..U..Aninda.” katanya terbata.
Mendengarnya Aninda sedikit kaget namun tak terlihat jelas karena keadaanya yang sangat lemah dan kesakitan, namun ia mulai berkata,
“A..kk..kkuu..ju..g..ga..me..n..cint..taimu..Le..o…..” kata Aninda di hembusan napasnya yang terakhir………………………………………………….


* THE END *